"Iman memiliki lebih dari tujuh puluh (antara tujuh puluh tiga hingga delapan puluh) cabang, dan malu merupakan salah satu cabangnya" (HR. Abu Hurairah ra)
Mari kita merenungi satu pelajaran yang disampaikan Rasul saw. Pelajaran yang sejak lama sebelum Nabi Muhammad saw diutus, sudah diajarkan oleh para Nabi kepada kaum-kaum mereka. Pelajaran berharga yang merupakan cabang dari iman. Pelajaran itu adalah pelajaran sikap malu. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Mas'ud, Rasulullah saw bersabda, "bahwa di antara wasiat yang disampaikan kepada umat para terdahulu adalah 'Jika Anda tidak malu, maka lakukan apa yang Anda sukai'" (HR. Bukhari). Wasiat tersebut menggambarkan pentingnya rasa malu. Bahwa rasa malu dapat menjadi tameng bagi manusia. Dapat mencegah seseorang melakukan hal-hal yang tidak pantas apalagi maksiat dan dosa. Dan bila tidak ada rasa malu, maka seseorang dapat melakukan apa saja sesukanya. Tentunya rasa malu yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya adalah malu untuk melakukan kesia-siaan. Malu dalam melakukan maksiat dan dosa. Karena malu yang seperti ini adalah malu yang terpuji (al-hayaa'almahmuud).
Malu melakukan hal yang sia-sua apalagi dosa merupakan indikasi baiknya seseorang. Karena malu yang seperti ini adalah bagian dari iman. Rasulullah saw menyebutnya secara khusus sebagai bagian dari iman dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Iman memiliki lebih dari tujuh puluh (antara tujuh puluh tiga hingga delapan puluh) cabang, dan malu merupakan salah satu cabangnya. Bukan malu untuk melakukan kebaikan, karena malu untuk melakukan kebaikan adalah pertanda kelemahan, sebagaimana disampaikan oleh Syekh Bugha dalam Kitab Al-Wafii ketika menerangkan hadits tersebut. Malu dalam hal ini adalah malu yang tercela (al-hayya' almadzmuum).
Dalam kehidupan sehari-hari kita, tentunya tidak luput dari perasaan malu. Rasa malu itu timbul lantaran banyak hal. Apakah malu lantaran status sosial yang rendah, malu lantaran kondisi ekonomi yang lemah, malu lantaran wajah dan fisik yang lemah, dan seterusnya.
Apa yang harus kita sadari adalah, kita harus lebih merasakan malu lantaran kealfaan kita dalam menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Kita harus lebih merasakan malu lantaran melakukan hal yang sia-sia. Malu lantaran melakukan maksiat dan dosa. Malu lantaran menelantarkan kewajiban-kewajiban kita.
Jangan sampai kita malu lantaran kondisi lemah ekonomi kita, tetapi kita tidak malu dengan kondisi lemah keberagamaan kita. Jangan sampai kita malu lantaran rendahnya posisi sosial kita, namun kita tidak malu lantaran rendahnya akhlak kita. Jangan sampai kita malu lantaran buruknya wajah dan tubuh kita, namun kita tidak malu lantaran buruknya ketakwaan kita. Padahal standar hakiki kemuliaan seorang hamba adalah takwa. Allah swt. berfirman : "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenai". (QS Al-Hujuraat : 13)
Begitu pula siapa yang memiliki kekayaan dan kedudukan yang tinggi, jangan sampai kondisi tersebut melupakannya untuk merasa rendah dan malu di sisi Allah swt. Apa yang menjadi kebanggan kita adalah ketakwaan kepada Allah swt.
Seorang yang kaya tetap tidak dipandang Allah swt, ketika ia jauh dari akhlak dan ibadah kepada-Nya. Seorang yang tinggi pangkat tetap tidak mendapat kemuliaan dari Allah ketika ia tidak menghiasi dirinya dengan ketakwaan. Seorang yang fisiknya tidak bagus. Karena fisik, wajah, dan standar duniawi tidak berlaku di hadapan Allah swt. Rasul saw bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra, "Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada tubuh dan wajah kalian, tetapi Allah memandang kepada hati kalian" (HR. Muslim)
Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah bagaimana menumbuhkan rasa malu yang terpuji (al-hayaa' almahmuud).
Pada prinsipnya sebagaimana dijelaskan dalam kita Al-Wafi syarah Arba'in nawawi, rasa malu dalam diri manusia bisa dibagi dari sisi pertumbuhannya kepada dua hal :
Pertama, rasa malu yang ada secara fitrah (alhayaa' alfithriy). Rasa ini timbul secara otomatis dalam diri manusia. Malu untuk melakukan keburukan sebenarnya adalah fitrah manusia. Karena memang setiap anak manusia itu lahir dalam keadaan fitrah. Namun rasa malu ini akan dipengaruhi dengan proses selanjutnya.
Kedua, rasa malu yang ditumbuhkan (alhayaa' almuktasab). Rasa malu dapat ditumbuhkembangkan dalam jiwa seseorang. Karena rasa malu merupakan bagian dari akhlak, dan akhlak adalah sesuatu yang bisa diupayakan tumbuh dalam diri manusia. Ada satu langkah yang utama dan pertama untuk menumbuhkan rasa malu yang terpuji, yaitu mengenal Allah swt (ma'rifatullah), untuk selanjutntya akan menumbuhkan rasa pengawasan-Nya (muraqabatullah), mengenal Allah swt (ma'rifatullah). Kita dapat membaca dan merenungi Al Quran untuk mengenal Allah swt.
Allah swt adalah zat yang maha mengetahui, zat yang maha melihat, zat yang maha mendengar, zat yang maha mengawasi, dan seterusnya. Misalnya Allah swt menerangkan sifat-Nya dan mengenalkan diri-Nya dalam ayat : "Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia menetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuimua (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (QS. Al-An'am : 59)
Wallahu a'lamu bishshawab