Tulisan ini adalah ungkapan atau curahan yang ada di dalam hati dan kepalaku. Apa yang tertuang di dalam tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun. Saya hanya mencoba membuat pengandaian berdasarkan pengalaman yang saya alami.
Alhamdulillah, saya pernah menjadi seorang atlit yang berkesempatan mewakili kabupaten dalam sebuah event di tingkat propinsi. Sebagai seorang atlit, saya tahu tugas yang harus saya lakukan adalah berlatih agar dapat memperoleh hasil terbaik. Latihan tanpa dampingan seorang pelatih tentu akan memberikan hasil yang kurang optimal karena terdapat hal-hal yang hanya dapat diamati oleh orang di luar diri kita sendiri.
Selama 4 tahun terakhir saya mencoba mendampingi putra kami dalam latihan. Kebetulan olah raga yang ditekuni putra kami sama dengan olah raga yang saya tekuni, yaitu panahan. Di tahun pertama saya sekedar mendampingi putra kami (Arifin) berlatih. Jadi Arifin memanah dan saya pun memanah sambil mengamatinya dari jauh. Tetapi memasuki tahun kedua, intensitas latihanku semakin berkurang dan saya menjadi lebih sering mengamati Arifin latihan.
Saya mulai memperhatikan hal-hal kecil yang menggelitik rasa penasaran. Misalnya posisi anchor, body form, proses drawing, dan lain sebagainya. Hal-hal kecil tersebut tidak dapat diamati atau dilihat sambil lalu. Hal tersebut menurutku harus dilihat lebih dari 3 tembakan untuk memastikan bahwa hal tersebut memang selalu diulang-ulang oleh si pemanah. Kondisi yang selalu saya hadapi tersebut akhirnya membuat saya benar-benar berhenti menarik busur beralih kepada belajar tentang teknik memanah yang benar agar diperoleh hasil tembakan yang baik.
Di kesempatan yang lain, pernah seorang atlit panahan curhat ke saya tentang apa yang dia alami di olah raga panahan. Sebagai seorang atlit, oleh pelatih dia diberi target score minimal yang harus dicapai. Latihan telah rutin dia lakukan, baik saat ada pelatih maupun tidak ada pelatih. Problemnya adalah score yang dia raih tidak pernah mampu mendekati target yang ditetapkan. Dia bertanya, bagaimana caranya agar scorenya naik dan target tercapai. Jawaban yang saya berikan waktu itu adalah saya minta dia berkonsultasi ke pelatih atas kondisi tersebut. Jujur saya ingin melihat atau memperhatikan cara atlit tersebut memanah. Saya ingin mengetahui teknik dia memanah, apakah sudah benar atau ada problem dengan alat yang dia pergunakan. Tetapi niat itu saya urungkan, saya khawatir apa yang saya lakukan akan membuat pelatihnya tersinggung. Saya khan bukan pelatih dan tidak pernah juga ikut pelatihan pelatih panahan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah seorang pelatih dapat juga menjadi seorang atlit? Berdasarkan uraian di atas menurutku sebenarnya agak sulit untuk menjadi pelatih yang sekaligus juga menjadi atlit. Atlit mempunyai tugas untuk berlatih, sementara pelatih mempunyai tugas membimbing atlit agar menjadi lebih baik. Tugas pelatih tersebut akan menjadi lebih berat di saat dia memberikan target tertentu kepada atlitnya. Apalagi seorang pelatih merangkap menjadi atlit, maka di saat atlit binaannya berlatih maka dia pun akan ikut berlatih, sehingga yang terjadi adalah "latbar" (latihan bareng). Akibatnya, hasil yang diperoleh menjadi tidak optimal, selaku pelatih dia tidak optimal membimbing atlitnya dan selaku atlit dia tidak tidak optimal melakukan latihan.
Solusi apa yang dapat dilakukan? Pelatih harus memilih salah satu, apakah ingin tetap melatih atau tetap berlatih. Saya mencoba memberikan gambaran dengan apa yang selama 3 tahun ini saya lakukan walau hanya sekedar mendampingi anak (1 orang) berlatih panahan. Panahan adalah olah raga teknik. Pemanah dengan score tertinggi dia akan menjadi juara. Score tertinggi dihasilkan oleh teknik memanah yang baik dan konsisten. Proses pengamatan atas teknik memanah yang baik tidak dapat dilakukan dengan melihat 1 - 2 kali tembakan, apa lagi jika bicara tentang konsistensi teknik. Pengamatan atas konsistensi teknik menurut saya harus dilakukan antar seri tembakan atau antar waktu latihan. Hal ini terjadi ke seorang atlit, bagaimana jika atlitnya lebih dari satu orang.
Andaikan saya berada di antara 2 pilihan menjadi pelatih atau menjadi atlit, maka saya akan memilih untuk menjadi pelatih agar dapat lebih serius membimbing atlit agar menjadi atlit yang lebih baik. Semakin besar perhatian kita kepada atlit, maka kita akan semakin mengenal karakter atlit kita sehingga kita dapat menemukan cara bimbingan yang tepat untuk atlit tersebut. Satu hal lagi, bagi saya seandainya menjadi seorang pelatih panahan, saya akan semakin puas dan bangga apabila semakin banyak atlit binaan saya berada di shooting line (apa lagi saat babak eliminasi). Hal ini akan menjadi salah satu indikator keberhasilan saya dalam melatih mereka.
Saya harap tulisan ini tidak membuat tersinggung para pelatih apalagi pelatih yang sekaligus merangkap sebagai atlit. Tulisan ini adalah perandaian jika saya menjadi seorang pelatih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar