oleh : Dr. Amir Fasihol Fath
"Dan carilah (kebahagiaan) akhirat, yang telah Allah sediakan untukmu, tapi jangan lupa bahagiaanmu dari kenikmatan dunia" [QS. Al Qashash ; 77]
Lalu, apa arti kita hidup di dunia? Dunia tempat kita mempersiapkan diri untuk akhirat. Sebagai tempat persiapan, dunia pasti akan kita tinggalkan. Ibarat terminal, kita transit di dalamnya sejenak, sampai waktu yang ditentukan, setelah itu kita tinggalkan dan melanjutkan perjalanan lagi. Allah berfirman dalam Al Quran bahwa dunia itu bukan tujuan. Mari kita simak ayat ini : "Dan carilah (kebahagiaan) akhirat, yang telah Allah sediakan untukmu, tapi jangan lupa bahagianmy dari kenikmatan dunia" [QS. Al Qashash : 77]
Di sini terlihat dengan jelas bahwa yang harus kita kejar adalah kebahagiaan hidup akhirat. Mengapa? karena di sanalah kehidupan abadi. Tidak ada mati lagi setelah itu. Karenanya dalam ayat yang lain Allah berfirman, "winnad daarul aakhirata lahiya alhayawanu" (dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya) [QS. Al Ankabut : 64]
Lalu, apa arti kita hidup di dunia? Dunia tempat kita mempersiapkan diri untuk akhirat. Sebagai tempat persiapan, dunia pasti akan kita tinggalkan. Ibarat terminal, kita transit di dalamnya sejenak, sampai waktu yang ditentukan, setelah itu kita tinggalkan dan melanjutkan perjalanan lagi. Bila demikian tabiat dunia, mengapa kita terlalu banyak menyita hidup kita untuk keperluan dunia? Diakui atau tidak, dari 24 jam jatah usia kita dalam sehari, bisa dikatakan hanya beberapa persen saja yang kita gunakan untuk persiapan akhirat. selebihnya bisa dipastikan terkuras habus oleh kegiatan yang berputar-putar di sekitar dunia. Coba kita ingat nikmat Allah yang tak terhingga, setiap saat mengalir dalam tubuh kita. Tapi mengapa kita lalaikan itu semua. Detakan jantung tidak pernah berhenti. Kedipan mati yang tak terhitung berapa kali dalam sehari, selalu kita nikmati. Tapi kita sengaja atau tidak selalu melupakan hal itu. Kita sering mudah berterima kasih kepada orang yang berjasa kepada kita, sementara kepada Allah yang senantiasa memanja kita dengann nikmat-nikmat-Nya, kita sering kali memalingkan ingatan. Akibatnya kita pasti akan lupa akhirat.
Dari sini dunia akan selalu menghabiskan waktu kita. Orang-orang bijak mengatakan bahwa dunia ini hanyalah keperluan, ibarat WC dan kamar mandi dalam sebuah rumah, ia dibangun semata sebagai keperluan. Karenanya siapapun dari penghuni rumah itu akan mendatangi WC atau kamar mandi jika perlu, setelah itu ditinggalkan. Maka sungguh sangat aneh bila ada seorang yang diam di WC sepanjang hari dan menjadikannya sebagai tujuan utama dari dibangunnya rumah itu.
Begitu juga sungguh sebenarnya sangat tidak wajar bila manusia sibuk mengurus dunia sepanjang hari dan menjadikannya sebagai tujuan hidup. Sementara akhirat dikesampingkan. Namun kita kita memang sedang berada di sebuah zaman yang terbalik. Keperluan dijadikan tujuan dan tujuan bukan hanya dijadikan keperluan, bahkan tidak diperlukan lagi. Orang-orang yang sibuk mengurus akhirat menjadi aneh. Dan orang-orang yang sibuk mengurus dunia dibanggakan. Bahkan berperang pun dengan menghanguskan sekian jumlah manusia uintuk kepentingan dunia senantiasa dilakukan. Seakan dunia segala-galanya.
Keterbalikan ini juga terlihat di berbagai segi kehidupan. Laki-laki bergaya seperti wanita dan wanita bergaya seperti laki-laki. Siang dijadikan malam, dan malam dijadikan siang. Orang yang belajar agama merusak agamanya, dan orang yang belajar pada jurusan umum justru berusaha mengamalkan agama. Dari sini kerancuan definisi dunia dan akhirat.
Kini orang-orang banyak yang tidak bangga jika anaknya rajin ke masjid, pandai mengaji, dan aktif di majlis taklim. Mereka bangga bila anaknya sekolah di Amerika, menjadi bankir dan lain sebagainya. Bahkan mereka merasa pesimis terhadap masa depan anaknya jika mereka mondok di sebuah pesantren atau masuk jurusan agama di universitas tertentu. Akibatnya berduyun-duyunlah mereka menuju universitas umum, dengan harapan nanti mereka akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal semuanya itu kalau mau disadari secara mendalam, sungguh sangat tergantung kepada takdir.
Dalam sebuah perjalanan kembali dari Bogor, menuju Jakarta, di sebuah kereta api, saya bertemu dengan seorang ibu. Ibu itu dengan nada sedih dan penuh pengharapan bercerita bahwa tiga orang anaknya telah sarjana. Satunya sarjana di bidang akuntan, lainnya, di bidang komunikasi, dan satunya lagidi bidang sosiologi. Tapi sedihnya, -- kata ibu itu melanjutkan ceritanya -- bahwa sampai sekarang ketiga anak tersebut masih bingung mencari pekerjaan. Di sana-sini ribuan orang ngantri melamar kerja. Begitu panjangnya antrian itu, sampai berdesak-desakanm sikut-menyikut, sogok-menyogok, jilat-menjilat, dan seterusnya. Sungguh dunia memang perangkap, maka makin banyak manusia yang tertipu. Ya, sadarilah wahai saudaraku, bahwa dunia itu hanyalah keperluan. Mengapa harus menghabiskan waktu sedemikian banyaknya berlebih-lebihan mengejar keperluan, sapai harus saling membunuh dan berperang? sedangkan tujuan kita lupakan. Ingatlah bahwa akhirat adalah tujuan kita yang hakiki. Jalan kita di dunia akan terbuka lempang bila kita selalu ingat tujuan hakiki kita.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar